"The Real Art of Tarot"
English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Prakata

Prakata

  

Selama ini banyak orang menganggap bahwa tarot identik dengan proses meramal. Mereka ingin ber­konsultasi atas kegundahan hidupnya melalui media kartu ini. Biasanya, mereka menginginkan penjelasan mengenai permasalahan yang dihadapi serta mendapatkan jawaban atas apa yang seharusnya dilakukan. Tidak sedikit pula orang yang sekadar ingin mengetahui masa depan melalui media kartu tarot. Sebenarnya anggapan seperti itu tidak salah karena memang ada sebagian praktisi tarot yang menggunakan teknik “menerawang” (dengan mata batin) masa depan ketika menerjemahkan tebaran kartu tarot. Namun, dari sekian banyak praktisi tarot, banyak pula yang mempraktikkan seni tarot tanpa melibatkan unsur cenayang. Ya, memang benar seni tarot bukanlah hal yang “berat”. Tarot dapat dipelajari oleh siapa saja. Dan inilah yang akan dikupas dalam buku yang telah hadir di tangan Anda.
Banyak praktisi atau pembelajar tarot menganggap ada sebuah “energi” lain yang menggerakkan terbukanya kartu tarot sehingga (secara kebetulan) dapat mengungkap keadaan dan permasalahan yang sedang dihadapi oleh klien. Namun, betulkah demikian?
Saya memercayai bahwa tidak ada yang magic dalam permainan tarot. Tarot menggunakan prinsip sebab-akibat yang memang bekerja pada siapa pun. Kalau seandainya hal tersebut bersifat magic, pastinya “kebetulan” yang terjadi dari pembacaan tarot tersebut tidaklah berkali-kali. Dari pengalaman dan pe­ngetahuan yang saya miliki—kebetulan saya juga berkecimpung di dunia hipnosis dan psikologi—maka dapat disimpulkan bahwa tarot adalah proses komunikasi dengan pikiran bawah sadar (subconscious) manusia. Sebenarnya hal tersebut terjadi secara alamiah. Sama seperti pikiran bawah sadar yang menggerakkan perilaku seseorang menjadi grogi ketika berhadapan dengan banyak orang. Seperti grafologi yang mampu menerjemahkan pikiran bawah sadar manusia lewat tulisan dan gambar. Atau sama halnya dengan tes proyektif dalam dunia psikologi—seseorang bercerita dipicu stimulus (melanjutkan kalimat atau gambar)—sehingga memunculkan alat SCCT, Rorschach, TAT–CAT, dan lain sebagainya. Semuanya itu karena apa yang dilahirkan dari
apa yang dipikirkan, dirasakan, diucapkan, dan dilakukan seseorang merupakan proyeksi dari keadaan dan kepribadian seseorang.
Saat gundah, seseorang bisa membuka kartu tarot lalu “membaca” kehidupannya. Hal ini mirip dengan kejadian yang biasa terjadi di sekitar kita. Ketika seseorang sedang resah, kemudian ia membuka (secara asal) kitab suci atau buku, dia pasti merasa ada “sesuatu” berkenaan dengan apa yang sedang dialaminya. Hal tersebut terjadi bila klien memang meyakininya dan dapat mengorelasikan­ dengan penga­lamannya. Tidak ada yang magic. Tidak ada yang mistik. Tidak ada yang kebetulan.
Banyak ahli psikologi klasik mengatakan bahwa pikiran manusia terbentuk dari pikiran sadar dan pikiran bawah sadar. Pikiran manusia itu ibarat gunung es—ada sedikit bagian puncaknya tersembul di atas perairan dan sebagian besar da­sarnya berada di bawah perairan. Dari hal tersebut disimpulkan bahwa perilaku manusia 88% dipengaruhi oleh pikiran bawah sadarnya daripada pikiran sadarnya. Pikiran sadar berkaitan dengan fungsi rasionalitas manusia, yaitu untuk mengidentifikasi, membandingkan, menganalisis, dan memutuskan tentang sesuatu hal. Sedangkan pikiran bawah sadar menyimpan keyakinan, nilai, persepsi, kebiasaan, emosi, kepribadian, intuisi, kreativitas, dan semua memori yang terekam sepanjang hidup manusia.
Tahukah Anda, bahwa sikap dan perilaku kita senantiasa secara otomatis digerakkan oleh pikiran bawah sadar? Dari kita bangun tidur hingga kembali tidur lagi, pola hidup dan aktivitas kita sudah otomatis berjalan seperti biasanya. Begitu pula cara kita berpikir, merasa, dan merespons sesuatu. Itu semua secara otomatis terjadi dalam pikiran bawah sadar yang memuat kebiasaan, nilai, keyakinan, kepribadian, juga emosi dan memori yang telah terekam sebelumnya. Sehingga pikiran bawah sadarlah yang memengaruhi sikap dan perilaku kita (kecuali kita ingin mengubahnya dengan kesadaran).
Dengan media kartu tarot, kita dapat menggali pikiran bawah sadar yang memang mengungkap aspek-aspek kepribadian manusia. Saya percaya bahwa apa yang tersimpan dalam pikiran bawah sadar manusia ibarat blue print atau software yang menjalankan segala aktivitas kehidupan manusia. Sehingga dari blue print itulah menghasilkan output tertentu—hukum sebab-akibat berjalan. Sama halnya program kebiasaan merokok yang dapat berakibat (output) buruknya kesehatan manusia. Sama halnya program malas dan minder yang akan berakibat pada buruknya masa depan manusia. Namun, banyaknya program yang berjalan pada manusia, akan berakibat output yang berbeda pada tiap orang.
Begitu juga media kartu tarot. Kartu ini dapat mengungkap sisi-sisi kehidupan manusia, baik keadaan sebelum maupun yang sekarang sedang dialami klien. Apakah itu sama dengan meramal masa depan? Bagi saya, hal tersebut bukanlah meramal tetapi gambaran masa depan yang ditunjukkan oleh kartu tarot merupakan hasil hubungan sebab-akibat, dari keadaan yang telah terjadi dan sedang dialaminya sekarang. Sama halnya ketika para ahli meteorologi melakukan prakiraan cuaca berdasarkan atas keadaan sekarang dan sebelumnya. Oleh karena itu, kartu tarot akan “memberitahu” kepada klien tentang akibat yang akan terjadi ketika sebab-sebab memang telah terungkap. Sehingga klien dapat mengantisipasi langkah apa yang sebaiknya dilakukan untuk kebaikan masa depannya. Ingat, masa depan yang diungkap
dalam kartu tarot bukanlah ramalan yang pasti terjadi. Namun, dengan kesadaran dan antisipasi yang dilakukan klien maka ia dapat meraih masa depan yang lebih baik. Apabila klien tidak memiliki kesadaran dan tindakan, maka gambaran masa depan klien yang ditunjukkan kartu tarot akan benar-benar terjadi.
Siapa pun dan bagaimana cara Anda mempelajari kartu tarot, tujuannya adalah mengungkap sesuatu yang mungkin lalai dalam pikiran sadar. Tarot adalah sebuah seni yang mengeks­plorasi pikiran bawah sadar manusia. Jadi, sah-sah saja ketika para praktisi mempelajarinya dan menemukan gayanya masing-masing.

Jogjakarta, 24 Mei 2008


Hisyam A. Fachri