Masyarakat
Indonesia saat ini telah banyak mengenal permainan kartu tarot yang
sesungguhnya memang bukan berasal dari
budaya kita. Ada yang menjadikan kartu tarot sebagai media meramal masa yang
akan datang, “membaca” apa yang sedang dipikirkan klien, konsultasi atas
permasalahan klien, atau berfungsi sebagai suvenir barang seni karena memiliki
gambar etnik yang estetik. Apa pun apresiasi kita terhadap permainan kartu
tarot, yang jelas tarot telah memiliki posisi tersendiri bagi sebagian
masyarakat karena memiliki nuansa spiritual, eksplorasi bawah sadar, dan
pengungkapan peristiwa yang sesungguhnya kita sudah tahu sebab-akibat
keadaaannya.
Dari mana sebenarnya
permainan kartu tarot berasal? Sampai saat ini tidak ada satu sumber yang pasti
sejak kapan, di mana, dan latar belakang kartu tarot mulai diperkenalkan. Ada
sebagian orang yang mengatakan bahwa kartu ini dikembangkan oleh masyarakat
gipsi yang membawanya ke daratan Eropa setelah Perang Salib.
Ada
pula yang meyakini bahwa tarot semula bernama kabala (dari India)—susunan
gambar diatur menyerupai permainan catur, lalu sang penanya hanya menunjuk
dengan mata tertutup bagian-bagian gambar tertentu untuk mengetahui apa yang
akan terjadi di masa depan dengan mentransformasikan kekuatan mistik.
Pendapat
lain mengatakan bahwa tarot berasal dari Mesir. Adalah Court de Gebelin yang
mengembangkan teori bahwa tarot dapat diidentikkan dengan Kitab Toth. Toth
adalah dewa ilmu pengetahuan Mesir kuno. Pada abad ke-19 karya tersebut
dikembangkan oleh Alphonse Louis Constant, warga Perancis, membentuk sebuah
sistem untuk menafsirkan kartu tarot. Salah satunya yang terkenal adalah jenis
kartu Rider Waite yang dipakai sebagai referensi dalam buku ini.
Sedangkan
berdasarkan catatan sejarah dan informasi dari Padepokan Tarot Indonesia, kartu
ini sudah lahir semenjak masa Nabi Musa as.. Tarot berkembang di lingkungan
bangsa Ibrani, kemudian berproses dalam kurun waktu sangat panjang, hingga
dikenal sebagai qaballa.
Pada
permulaan abad ke-12 hingga 15, ilmu ramal ini berkembang pesat di daratan
Eropa sampai pada abad pencerahan—masa pemisahan agama dan ilmu pengetahuan.
Tidak heran bila tarot pernah menjadi pertentangan sengit karena banyak anggapan bahwa ilmu ramal ini terkait ajaran yang tidak rasional.
Namun, bagi kaum yang arif, ilmu ini menjadi menarik bila
dikaji lebih profesional,
sebagaimana ilmuwan fisika
yang menemukan pengetahuan alam semesta atau materi atom. Para penemu bahasa
simbol kartu tarot berpendapat
bahwa di “balik“ gambar kartu itu ada suatu “energi” tak tampak, yang sampai hari
ini masih tetap mengundang
minat orang untuk menambang misteri. Tujuh puluh delapan gambar kartu tarot merupakan lambang perjalanan
bintang yang erat kaitannya
dengan siklus kehidupan manusia itu sendiri.
Seni
tarot memang telah berkembang sejak beberapa abad lalu dan banyak dihubungkan
dengan berbagai budaya dan kepercayaan masing-masing daerah. Namun, hal
tersebut tergeser seiring dengan kemampuan seseorang mengeksplorasi pikiran
bawah sadarnya. Kini, tarot menjadi seni wacana dan komoditas sebagian
masyarakat untuk mendapatkan jawaban logis saat tersandung masalah.
Kalangan
para pebisnis di Amerika telah mengakui keberadaan eksplorasi bawah sadar
dengan tarot. Sehingga mereka merasa perlu mengembangkan seni ini sebagai
industri yang dapat mengungkap misteri tersembunyi dari hubungan sebab-akibat. Pengakuan itu tampak antara lain dengan banyaknya
penerbit dan percetakan di Amerika
Serikat dan Eropa berlomba mengeluarkan
kartu tarot dengan desain yang
cantik, mewah, dan memukau. Umumnya, desain tersebut berlatar belakang
cerita legenda dan falsafah setiap
bangsa yang berfokus pada siklus kehidupan manusia. Hampir dua ratus tahun terakhir kartu tarot mengalami perkembangan pesat.
Seni
tarot di Indonesia sendiri masih berkisar pada kalangan tertentu dan terbatas
karena ada yang menganggapnya tidak ilmiah. Sebagai upaya mengembangkan dan memberikan apresiasi
terhadap perkembangan tarot di Indonesia, maka untuk melengkapi buku ini
dibuatlah tumpukan kartu dengan deskripsi yang disesuaikan kultur bangsa.
Kartu ini diinterpretasikan dengan sederhana dari jenis kartu Rider Waite.
Gambar kartu tarot hanya mengganti unsur pakaian yang ada di Rider Waite
menjadi tema nusantara. Diharapkan kartu ini dapat mempermudah siapa saja yang
ingin mempelajari tarot sembari mengapresiasikan budaya Indonesia.
Kartu
Tarot Nusantara memang mengambil nuansa-nuansa etnik bangsa Indonesia dan
didominasi dengan unsur Jawa kuno yang mewakili simbol Kerajaan Mataram. Dan,
pada tiap elemen kartu arcana minor ada pula unsur budaya lain. Gambar pada elemen
tongkat mengusung budaya Jawa-Bali yang bermain warna merah dan kecokelatan.
Warna ini mewakili unsur tongkat, yaitu api. Tiap karakternya divisualisasikan
menggunakan motif batik Jawa dan Bali. Dan untuk elemen koin, motifnya merujuk
pada budaya Tana Toraja yang mengusung unsur tanah (simbolisasi budaya Toraja
yang meyakini nenek moyangnya berasal dari kerbau). Karakternya memakai motif
Tongkonan (Pa’Bambo Uai, Pa’Daun Bolu Sangbua, Pa’Sepu Torongkong, dan
seterusnya) dengan rujukan warna kain tenun Tana Toraja.
Sementara
gambar elemen pedang yang berkaitan dengan udara, merujuk pada budaya
Kalimantan, yakni suku Dayak—dengan visual hutan dan angin. Warna hijau sebagai
unsur angin diambil dari dominasi warna pada beberapa kesenian daerah. Kartu
ini memperlihatkan tato suku Dayak yang konon merujuk Dewa Angin Waprakesvara
pada masa kekuasaan Kutai di era Kerajaan Hindu-Buddha Kuno.
Dan yang terakhir, elemen piala dengan unsur air
digambarkan dengan budaya suku Sentani di Papua yang berdomisili di pinggir
Danau Sentani. Corak kain pada arcana ini mengacu pada ukiran kayu Sentani dan
kain perempuan Sentani yang kebanyakan mengusung ikon ikan dan binatang melata.
Tokek dan kura-kura adalah interpretasi nenek moyang suku Sentani. Sebenarnya,
warna Sentani yang original justru warna “panas” (merah, cokelat, putih,
hitam). Namun, untuk kartu ini unsur pewarnaannya diganti menjadi biru.
Tarot Nusantara "The Real Art of Tarot"
Hisyam A. Fachri